Sudah ratusan kali aku ke tempat ini. Selalu seperti ini, rak-rak kayu yang berjejer rapi, sofa biru empuk dan lantunan musik Jazz. Aku bisa mencium bau kertas yang lembut setiap masuk ke tempat ini, toko buku favoritku. Toko ini terletak di pinggiran kota, koleksinya lengkap, pelayannya adalah sahabat yang selalu tersenyum dan akan menawarkan teh hijau hangat kepada setiap langganannya. Toko ini tidak pernah ramai oleh pengunjung tapi mereka punya pelanggan setia yang selalu datang tiap minggu untuk membeli atau hanya bersantai bersama koleksi buku sambil menikmati keheningan yang ramah.
Aku hempaskan tubuhku di sofa biru yang di pojok, ini tempatku dan aku selalu di sini. Aku menyukai sofa ini karena mengingatkanku pada masa kecil. Masa kecil yang indah bersama majalah anak-anak kesayanganku. Pelayan menawarkan kopi dan teh (“seperti biasa, Siska!”). Aku tersenyum, dan dia mengerti maksudku: teh hijau hangat di cangkir bambu. Aku ingin menikmati sore ini bersama buku tebal yang tidak akan pernah puas aku baca, Dunia Sophie. Musik Jazz berganti dengan suara lembut Egna.
Sore ini hanya ada beberapa pengunjung, sepasang suami-istri yang sedang berdebat memilih buku anak-anak, beberapa orang mahasiswa berkemeja putih yang sedang bersila di antara rak buku hukum dan akuntansi, dan seorang gadis bergaun biru muda, kira-kira berumur 20an. Aku tidak terlalu handal menebak umur tapi gadis ini masih muda dan keliatan sangat anggun, dengan kibasan rambut panjangnya. Dan aku menatapnya. Kulihat langkahnya yang begitu lembut, tatapannya terhadap kertas-kertas di rak-rak tersebut adalah tatapan cinta. Dia menyentuh pinggiran buku dengan hati-hati, seolah buku tersebut seperti bayi yang baru lahir, begitu lemah dan mempesona. Dia tersenyum dan tidak jarang tersipu malu setiap melintasi beberapa buku sastra klasik. Dan pada saat itu pandangannya teralih dan menoleh kepadaku, serentak semua senyumnya hilang. Aku terkejut.
Aku berusaha untuk tersenyum, namun tidak berhasil dengan baik. Hanya membuat bibirku tersinggung beberapa senti dengan cara yang aneh. Akhirnya aku hanya diam menatapnya, mata kami bertemu dan aku mengangguk sedikit. Ada sebuah dorongan untuk menyapanya, namun sebelum kata itu terucap dari lidahku, tiba-tiba tangannya terangkat, jari telunjuknya menempel di bibir merah jambu itu. Dia menyuruhku diam, bahkan sebelum aku sempat berkata apa-apa. Akupun diam dan dia mengangguk pelan, tersenyum dan melangkah keluar, berbelok dan hilang di ujung koridor.