Blognya udah pindah lho!!

Sekarang udah punya rumah sendiri, silahkan berkunjung:
www.karoteh.info
sekalian di Bookmark yah :D THX..

Sunday, June 27, 2010

Sofa Biru dan Sepotong Ingatan

Sudah ratusan kali aku ke tempat ini. Selalu seperti ini, rak-rak kayu yang berjejer rapi, sofa biru empuk dan lantunan musik Jazz. Aku bisa mencium bau kertas yang lembut setiap masuk ke tempat ini, toko buku favoritku. Toko ini terletak di pinggiran kota, koleksinya lengkap, pelayannya adalah sahabat yang selalu tersenyum dan akan menawarkan teh hijau hangat kepada setiap langganannya. Toko ini tidak pernah ramai oleh pengunjung tapi mereka punya pelanggan setia yang selalu datang tiap minggu untuk membeli atau hanya bersantai bersama koleksi buku sambil menikmati keheningan yang ramah.

Aku hempaskan tubuhku di sofa biru yang di pojok, ini tempatku dan aku selalu di sini. Aku menyukai sofa ini karena mengingatkanku pada masa kecil. Masa kecil yang indah bersama majalah anak-anak kesayanganku. Pelayan menawarkan kopi dan teh (“seperti biasa, Siska!”). Aku tersenyum, dan dia mengerti maksudku: teh hijau hangat di cangkir bambu.  Aku ingin menikmati sore ini bersama buku tebal yang tidak akan pernah puas aku baca, Dunia Sophie. Musik Jazz berganti dengan suara lembut Egna.

Sore ini hanya ada beberapa pengunjung, sepasang suami-istri yang sedang berdebat memilih buku anak-anak, beberapa orang mahasiswa berkemeja putih yang sedang bersila di antara rak buku hukum dan akuntansi, dan seorang gadis bergaun biru muda, kira-kira berumur 20an. Aku tidak terlalu handal menebak umur tapi gadis ini masih muda dan keliatan sangat anggun, dengan kibasan rambut panjangnya. Dan aku menatapnya. Kulihat langkahnya yang begitu lembut, tatapannya terhadap kertas-kertas di rak-rak tersebut adalah tatapan cinta. Dia menyentuh pinggiran buku dengan hati-hati, seolah buku tersebut seperti bayi yang baru lahir, begitu lemah dan mempesona. Dia tersenyum dan tidak jarang tersipu malu setiap melintasi beberapa buku sastra klasik. Dan pada saat itu pandangannya teralih dan menoleh kepadaku, serentak semua senyumnya hilang. Aku terkejut.

Aku berusaha untuk tersenyum, namun tidak berhasil dengan baik. Hanya membuat bibirku tersinggung beberapa senti dengan cara yang aneh. Akhirnya aku hanya diam menatapnya, mata kami bertemu dan aku mengangguk sedikit. Ada sebuah dorongan untuk menyapanya, namun sebelum kata itu terucap dari lidahku, tiba-tiba tangannya terangkat, jari telunjuknya menempel di bibir merah jambu itu. Dia menyuruhku diam, bahkan sebelum aku sempat berkata apa-apa. Akupun diam dan dia mengangguk pelan, tersenyum dan melangkah keluar, berbelok dan hilang di ujung koridor.

Sunday, June 13, 2010

Laporan Pandangan Mata Kopdar ke-3 GRI bandung dengan Tema “Tepang Sono Goodreaders Bandung”

Ehheem.. cek cek.. 1 2 3.. ini hanya sekedar pendangan mata seorang anak manusia yang masih mengantuk dan kecewa dengan hasil imbang Inggris semalam, jadi beberapa fakta yang terjadi beberapa hari yang lalu mungkin sedikit ter-distorsi, harap dimaklumi. Mari kita mulai.
Kisah ini berawal dari pertengahan april yang lalu, saat saya mendapat kabar bahwa Kopdar GRI serempak se-Indonesia bulan Juni ini. Ini kabar terbaik yang saya terima sejak awal tahun, ini adalah kegiatan tahunan yang paling ditunggu Goodreaders Bandung, sebuah hari dimana semua barudak Bandung yang berdomisili disini, ataupun diluar kota, ataupun diluar jawa saling bertatap muka, menggila dengan tidak jelas dan.. dan kegiatan OOT lainnya tentu saja :P
12 Juni 2010.
Pagi itu saya terbangun dengan tidak terlalu yakin. Saya merasa ada yang aneh dengan hari ini, lima menit pertama saya habiskan dengan merenung kenapa saya harus bangun pada hari sabtu yang cerah ini. Ini aneh, tidak ada yang bangun pada hari sabtu pukul 08.00 pagi, bahkan bocah-bocah rumahan sekalipun masih meneteskan air liurnya pada pukul ini. Kemudian sebuah pikiran dari alam bawah sadar melintas kedalam otak saya yang kecil, saya tersentak “a*****… TELAT…!!!!”
Rasa kantuk, dinginnya air bak mandi dan perut yang lapar tidak terasa lagi. Semua darah terpompa dengan cepat ke paru-paru dan otak. Hari ini adalah hari itu. Saya sangat bergairah, bersemangat dan kesal, kenapa pada hari sepenting ini saya bangun terlambat. Saya harus sudah ada di Hiros Futsal pukul 08.30. Untuk pertama kalinya GRI Bandung mengadakan futsal sebagai awalan acara Kopda. Dan saya harus bergegas, lupakan sepatu, lupakan keramas, lupakan kopi, lupakan sarapan, saya tidak peduli, hari ini saya Futsal bersama GRI.
Futsal adalah kegiatan pertama dalam Kopdar kali ini. Saya kira ini ide yang jenius, sabtu pagi yang cerah, diawali dengan berlarian diatas rumput sintetik, membakar lemak, berkeringat dan tentu saja menyehatkan. Kita semua harus sehat untuk melalui hari ini. Karena hari ini bertema ”Tepang Sono Goodreaders Bandung” hari yang menyenangkan.
Saya datang tepat waktu. Saat itu Aip, Nenangs, Indri dan mas Ibrohim telah berada disana. Tinggal menunggu beberapa orang lagi untuk bisa memulai permainan futsal ala GRI. Akhirnya satu persatu mulai berdatangan, Panda, Imam, teh Fetti, pak A. Gunawan dll. Dan permainan dimulai. Satu yang sangat menarik adalah, saat kita bermain bersama GRI, itu seperti berada digalaksi yang lain, permainan futsal yang tanpa aturan, bermain dengan penuh kebebasan, posisi standar futsal tidak berlaku saat itu. Siapa saja silahkan menggiring dan menendang bola ke gawang mana pun. Ini sangat menarik. Lain kali kita coba lagi yah.. *kedip2-an ama yang ikut futsal”
Setelah menyehatkan diri dengan futsal kami semua beranjak ke Toko Buku BEEBOOK kepunyaan mas Alwi. Toko buku yang baru berumur sebulan yang berada tidak jauh dari tempat futsal ini membangkitkan penyakit kambuhan semua Goodreaders. Kalap. Tentu saja, siapa sih yang tidak? Buku dengan diskon 40%. Tidak ada yang akan berani menolak tawaran ini. Bahkan ada seorang akang-akang yang katanya tidak akan beli namun pada akhirnya keluar toko dengan 2 bungkusan besar penuh dengan buku :P *piss kang*
Kamipun berangkat menuju Remo (Resep Moyang). Kafe & Resto yang akan menjadi saksi Kopdar kali ini. Tempat yang keliatan biasa-biasa ini beberapa saat lagi akan menjadi sangat luar biasa. Namun sebelum itu seperti pepatah klub penguyah yang saya bikin-bikin sendiri “Kopdar tanpa makanan enak seperti buku dengan terjemahan yang buruk” saya juga tidak ngerti maksudnya apa, ya begitulah. Buku menu menjadi rebutan dan pelayanpun dibuat bingung oleh bermacam-macannya pesanan.
Perut yang terisi dan dahaga yang terpuaskan menjadi acara pembuka, selanjutnya perkenalan.satu persatu yang hadir berdiri dan memperkenalkan diri serta wawancara pendek untuk beberapa orang, beberapa pertanyaanpun terlontar seperti “lagi dekat dengan siapa?” atau “ikut klub apa? Jadulers, kolor tiis atau trio macam” tentu saja gosip-gosip kecil pun ada disini :P
Ini daftar hadir Kopdar GRI ke-3 Bandung “Tepang Sono Goodreaders Bandung” :
1
Abdyka Wirmon
2
Panda Surya
3
Aip
4
A. Gunawan A
5
Indah T Lesatari
6
Ayunina R.F
7
Neng Feti
8
Susi
9
Tio
10
Erie SF
11
Iman Sunandar
12
Ibrohim
13
Alwi
14
Sabila Warnada
15
Bulan Tresna
16
Indri
17
ayu yudha
18
Buzenk
19
mute
20
Nanny
21
nenangs
22
D. Wulan Sari
23
Felicia Lasmana
24
Sianawati Sunarto
25
yudi
26
Femmy syahrani

26 orang yang beruntung yang bisa merasakan kegembiraan dan kehangatan GRI Bandung.
Oh ya, selagi memperkenalkan diri, saya menyebarkan sebuah angket sederhana untuk mengukur kinerja GRI Bandung. Dan dari 26 sempel kurang lebih beginilah hasilnya angket tersebut:


Wednesday, June 09, 2010

Transfigurasi Manusia: Refleksi Antrosophia Perennialis by Frithjof Schuon


Saya tidak peduli penulis itu tua, muda, hidup, mati, ahli, pakar, budayawan, aktivis, ibu rumah tangga atau apaun itu. selama mereka menulis sesuatu yang karya itu telah cukup. sebuah buku adalah seorang anak tanpa orang tua. dia yatim piatu. dan pembacalah orang tua angkatnya, yang akan mengasuh ide dan mengembangkannya menjadi sebuah pemikiran atau tindakan.

sebuah buku yang baik adalah buku yang bertanggung jawab akan isi dan kandungannya. jawaban bukanlah hal yang penting, selama pertanyaan yang diajukan dalamnya merukapan sebuah keraguan dan renungan tentang kebenaran.

seperti itulah buku ini.

saya pernah membaca sebuah buku karya penulis lokal yang mengangkat tema yang sama dengan buku ini. hasilnya nol besar. serius lho. 

Tuesday, June 08, 2010

Kafka on the Shore (Labirin Cinta Ibu dan Anak) by Haruki Murakami



Saya bukan orang yang bisa menulis sebuah review dengan indah, tertata, rapih dan jelas. untuk itu jangan buang waktu anda yang berharga untuk membaca ulasan tidak terkait dibawah ini.

mari kita mulai,

saya telah membaca dua buku Murakami sebelumnya Dengarlah Nyanyian Angindan Norwegian Wood dan saya lihat bagaimana Murakami telah belajar banyak dan menjadi penulis surelis yang cerdas, kali ini dalam cerita yang aneh dengan tujuan yang ambigu, banyak yang tidak suka namun saya berkata sebaliknya, "beginilah sebuah buku harus ditulis" ya kan??

Buku ini adalah wadah kesombongan sipenulis, kelihatan sekali Murakami telah banyak membaca tentang tentang mitos yunani dan musik klasik, adaptasi cerita odiepus, dan wacana-wacana kecil tentang karya komposer klasik yang mana saya tidak terlalu mengerti tentang itu.

alur ceritanya sederhana namun dibumbui dengan segala keanehan dan kebebasan penulis dalam menulis alur, timelinenya sedikit berantakan namun bukan itulah inti kisah ini, siapa yang peduli dengan alur kalau percakapan yang dihidangkan dengan gurih terasa nikmat untuk diolah dalam otak homosapien ini. tidak sempurna. inilah buku ini. i love it.

saya pengagum berat murakami, namun terbatasnya kemampuan hanya edisi ini yang bisa saya dapatkan, tidak buruk namun tidak cukup bagus juga. terjemahannya terkesan sangat terburu-buru dan kurang loyal. banyak titik-titik yang membuat saya bosan dan jenuh. saya terpaksa membaca berulang-ulang paragraf deskripsi, analoginya karya ini adalah sebuah mie instans yang diolah ala anak kost, hanya menyedunya dengan air panas.

sampai disini apakah saya membuat kalian bosan?? jika iya, berhenti disini.

saya lanjutkan,

saya sangat mengerti buku ini, pesannya saya terima dengan baik, ke anehannya saya acuhkan, ketimpangannya saya biarkan tetap begitu, idenya saya debatkan dengan agresif. dan saya pikir saya telah dewasa sebagia seorang pembaca. namun ternyata saya salah.

Murakami memainkan moral saya sebagia seorang anak -anak dari orangtua- . saya merasa jijik menatapi fenomena yang diangkat disini.

Murakami mengolok-olok saya sebagai mantan remaja yang pernah juga lari dari rumah. saya melihat diri saya yang dulu seperti seorang yang tolol.

Murakami menghina pemahaman yang telah saya pegang kurang lebih 15 tahun ini. saya pikir ini yang namanya pengkhianatan seorang penulis terhadap pembacanya, terutama pembaca yang tergila-gila dengan karyanya. saya dibodohi.

saya sadar akan banyak yang akan marah dan kesal terhadap review ini, jika iya silahkan datangi saya dan bawa buku edisi ingrisnya sekalian, saya ingin pinjam, jika tidak keluhan kalian yang marah tidak akan saya layani. tidak adil memang tapi begitulah hidup. tidak ada yang adil sama seperti buku ini.

oke, saya tidak tahu cara menutup review ini, sekarang pukul 02.30 dini hari. seperti nakata, saya juga butuh tidur panjang.

bye.


NB:
1.Murakami, kalau kau membaca dan mengerti apa yang saya tulis disini jangan berkecil hati, saya tetep menjadi penggagum berat anda. so keep rockin' Mur. \m/
2. jika yang membaca tidak mengerti dengan apa yang saya tulis, sama. saya juga tidak tahu dengan apa yang saya tulis ini.
3. mohon maaf jika ada yang tersinggung.
4. peace :)