Blognya udah pindah lho!!

Sekarang udah punya rumah sendiri, silahkan berkunjung:
www.karoteh.info
sekalian di Bookmark yah :D THX..

Sunday, December 12, 2010

Review: Botchan


Botchan by Natsume Sōseki

My rating: 5 of 5 stars


Sungguh.



Saya hidup kembali.



Telah lama saya merindukan sebuah bacaan seperti ini. sungguh. ini seperti bertemu kembali dengan kekasih yang telah lama terpisahkan. oh betapa melegakannya. sungguh.



Jauh sebelum membaca buku ini, saya telah sadar dan yakin kalau Soseki Nasume akan membuat saya masuk dan terlempar kedalam karyanya. dan ini terbukti langsung lewat buku ini. jika boleh beranalogi, membaca Botchan ini seperti menaiki pesawat jet melintasi khatulistiwa di sore hari yang cerah. yang artinya hhmm.. saya juga tidak tahu, tapi itu yang saya rasakan, yaaahh.. gitulah..



Botchan akan menyuguhkan kejujuran dunia yang keras, semua hal terlihat pelan namun sebenarnya semua ini berjalan sangat cepat, kesadaranmu akan membuat semua realitas terasa pelan dan mencekam. bagaimana tidak, banyak konflik disuguhkan dengan pedas dan dingin disini. tidak enak namun sangat indah. kau akan menyaksikan banyak hal yang saling bersinggungan dan tidak jarang saling menikam dan bertabrakan. tolong jangan berbohong bukankah manusia menyukai ini, menyaksikan sebuah kehancuran dan penderitaan adalah sebuah tontonan yang kita sukai. itu kenapa begitu banyak berita kriminal dan bencana disiarkan di TV, ratingnnya tinggi. serius lho..



Jika kamu belum membaca buku dan bertanya "bagaimana cerita buku ini?" hhmm.. saya hanya bisa menjawab "jangan pedulikan ceritanya". siapa yang akan peduli dengan cerita Botchan ini, ceritanya terlalu biasa dan sangat sederhana, ini hanya cerita tentang kehidupan dan pemberontakan akan realitas yang ada. semua orang pasti mengalaminya, namun masalahnya apakah kita bisa melihat dunia dengan cara seperti di Botchan ini, apakah kita bisa selalu jujur seperti tokoh utama dalam buku ini, apakah kita bisa menolak semua hasutan dan kemunafikan seperti yang disajikan dengan sangat gemilang oleh penulis buku ini, apakah kita bisa menjadikan idealisme sebagai harga mati, apakah kita bisa memberikan rasa sayang yang tulus dan berjanji untuk tetap setia, apakah kita bisa tetep kuat saat semua orang mencoba menjatuhkan? jika jawabannya tidak, cobalah belajar dari buku tipis ini. seperti kata mendiang ayahku, "buku adalah guru terbaik"



Oke, saya sadar, saya tahu kalau review ini kedengaranya berlebihan dan bertele-tele, namun seperti inilah kejujuran yang bisa saya berikan untuk buku ini. terima kasih.



NB: untuk yang telah pernah membaca buku ini diharapkan komentarnya, semoga kita bisa berbincang-bincang, bercakap-cakap, atau kemungkinan terburuk, saling mencela :D





View all my reviews

Thursday, December 09, 2010

Membaca Apa dan Siapa : Karya dan Sang Penciptanya




Sambutan Teguh Esha dalam Anugerah Pembaca Indonesia 2010 

Membaca Apa dan Siapa : Karya dan Sang Penciptanya
Ketika aku MEMBACA sesuatu –BERITA dan atau CERITA—apa yang sesungguhnya ‘ku baca? Aku membaca suatu KARYA yang DITULISKAN oleh SANG PENULISNYA: SEORANG WARTAWAN atau SEORANG SASTRAWAN.

Di dalam karya tersebut terkandung SUATU dan atau BEBERAPA PERISTIWA tentang SIAPA, APA, MENGAPA, DIMANA, KAPAN dan BAGAIMANA:

Siapa yang dituliskan?
Apa yang dikerjakannya?
Mengapa ia dituliskan?
Dimana peristiwa itu terjadi?
Kapan terjadinya?
Dan bagaimana proses terjadinya peristiwa tersebut sejak dari awal sampai ke akhirnya?

Sesuatu buku, majalah, suratkabar dan media (komunikasi) massa yang lainnya adalah alat atau sarana pengantar suatu karya yang dituliskan oleh sang penulisnya berdasar pengalaman raga dan jiwanya, lahir dan bathinnya; melalui proses penciptaan atau kreativitas yang ‘merupakan’ kesatupaduan kegiatan akal dan fikiran, perasaan dan keseluruhan aktivitas yang berlangsung serentak dan serempak serta sinergik dan harmonik; dalam suatu TOTALITAS PENULISAN yang digerakkan oleh SUATU DAYA CIPTA DARI LUAR DAN DARI DALAM DIRINYA!, YANG BERKESINAMBUNGAN pada suatu (batas) WAKTU TERTENTU!

SEBELUM AKU menuliskan cerita ALI TOPAN ANAK JALANAN, cerita itu BELUM ADA! Dan sebelum bokapku dan nyokapku bertemu dan kemudian mereka menikah, AKU BELUM ADA, BELUM EXIST DI DUNIA INI! Demikian pula riwayat manusia-manusia dan ciptaan-ciptaan yang lainnya! Sebelum ada, mereka tidak ada! Peristiwa nyatanya tidak ada atau belum ada sebelum di-ada-kan.

Sebelum Ali Topan ada, kemudian ia ada, siapakah yang meng-ada-kan dia? Aku!

Aku –sang penciptanya dan sang penulisnya--yang mengadakannya!

Lalu, sebelum aku ada dan kemudian aku ada, Siapakah Yang mengadakan aku?

Orangtuaku? Bukan! Orangtuaku hanyalah media, alat, sarana peng-ada-an diriku:
dari tak ada menjadi ada.

Kar’na, sebelum bapak dan ibuku ada di dunia ini, Siapakah yang Meng-ada-kan mereka?
Bapak moyang mereka?

Lalu, sebelum bapak moyang mereka ada, Siapa Yang Meng-ada-kan bapak moyang kita?

Ujung-ujungnya kita kepentok FAKTA, bahwa ADA SANG PENGADA YANG MENGADAKAN siapa dan apapun yang DIA KEHENDAKI! DIA ALLAH SANG PENCIPTA!

Bagaimana Sang Pencipta menciptakan sesuatu –siapa dan apa –yang Ia kehendaki?

Jika Allah berkehendak terhadap sesuatu, Ia berkata:
“ada” maka ia “ada”
“be” so it is “be”
KATA! KATA KATA!
DAN BAHASA! BAHASA BAHASA!

Sebagaimana manusia dan ciptaan-ciptaan yang lainnya, ALLAH yang menciptakan semua itu! Tak ada yang selain Allah!Bahkan orang-orang yang konon ---kata mereka---tidak percaya dengan (Keberadaan) Allah, mereka tidak sanggup menjelaskan tentang keber-ada-an diri mereka di dunia ini : sebagai objek dan bukan subjek penciptaan. Dan, -----jika ,mereka berkarya---apakah mereka juga menyangkal, bahwa karya mereka tak ada penciptanya?

Orang-orang yang kata mereka tidak percaya dengan keberadaan Sang Pencipta, bagaimana mereka bisa tidak percaya tentang keberadaan karya-karya yang mereka ciptakan dari tak ada menjadi ada?

Mereka diberi mata untuk melihat, tapi mereka buta. Bukan mata di kepala mereka yang buta, tapi mata dalam dada mereka: mata bathin mereka!

Mereka diberi telinga untuk mendengar, tapi mereka tuli. Bukan telinga di kepala mereka yang tuli, tapi telinga bathin mereka yang tuli!

Mereka diberi nurani untuk mengerti, tapi mereka tak kunjung jua mengerti.

Mereka buta bisu tuli, tapi mereka tidak menyadari.

Jika aku membaca sesuatu buku –buku sastra dan atau bukan sastra!—aku merenung dan berfikir tentang sang penulisnya! Jika aku melihat ---dan membaca dengan akal, fikiran dan perasaanku—selembar daun atau sekuntum bunga; aku berfikir dan takjub, terpesona oleh Daya Cipta, Pengetahuan, Teknologi dll. yang dipunyai Allah yang sanggup menciptakan semua daun dan semua bunga ada di bumi ini!

Aku sering memetik selembar daun dari tangkai pohonnya. Ku pandangi selembar daun itu. “Dulu kamu tidak ada, wahai selembar daun. Lalu, kamu diadakan oleh Allah Sang Pencipta: Dari tidak ada menjadi ada. Dan sekarang kamu berada di telapak tanganku.

Aku harus bisa membuktikan, bahwa kamu sesungguhnya tidak ada,” kataku kepada selembar daun itu. Dengan Nama Allah Sang Pencipta, aku sobek daun itu menjadi dua sobekan. Lalu kusobek-sobek lagi setiap belahannya. Demikian seterusnya hingga ke bagian-bagian yang terkecil yang mampu kubelah. Dan aku berfikir : jika setiap bagian dari daun itu dibelah-belah terus hingga ke bagian yang terkecil, dan dibelah-belah, lagi, maka bagian yang terkecil itu tidak ada! Aku gemetar. Sekujur diriku---raga dan jiwaku--merinding. Pujian untuk Allah Tuan al alamin.

Ketika aku membaca sesuatu buku, aku membaca sang penulis buku itu dengan akal dan fikiranku! Bahkan ketika aku membaca sebait puisi yang “ku ciptakan” dan kutulis dengan tanganku sendiri, aku terkaget-kaget! Kenapa ---dan bagaimana—kok “tiba-tiba”
aku bisa menulis puisi itu:

aku di sini
aku tak lari, aku tak sembunyi
penjaraku tak bert’rali besi


atau ini:

sunyi ini bukan sunyi yang dulu
tapi tetap sunyi


Seperti kegiatan manusia yang lainnya, kegiatan menulis dan membaca berjenjang-jenjang tingkatan kualitas(orang)nya! Para penulis yang goblok, pasti karya mereka mengekspresikan kedunguan mereka. Dan para pembaca yang bebal pasti mempertontonkan kebebalan mereka.

Ketika aku membaca Kehancuran “Indonesia”, aku membaca kebodohan-kebodohan itu: kehancuran daya cipta dan kecerdasan mayoritas penulis dan mayoritas pembacanya!

Aku bukan (golongan)mereka!
Semoga teman-teman Goodreads Indonesia seperti saya !
Nggak idiot seperti mereka..

SaLeM SaLoM SoLeMnis SaLaM SeLaMat

Teguh Esha

Jakarta, 5 Desember 2010